Minggu, 03 Februari 2013

JERIH PAHITNYA PANDE BESI

KISAH PANDE BESI: Minim Pelindung Tubuh demi Rupiah

Para pande besi di Dusun Kajar I, Desa Karangtengah, Kecamatan Wonosari, Gunungkidul tengah membuat aneka produk dari besi, Kamis (6/9). (JIBI/Harian Jogja/Yodie Hardiyan)
Tak, tek, tak, tek, tak, tek! Palu godam bertalu-talu di sebuah ruang kerja sederhana beralas tanah penuh lempengan besi, arang, api sekaligus peniupnya dan perkakas pertanian. Percikan api dan suara dentuman palu merupakan ornamen ruangan itu.
Palu dipukul berulang kali, mungkin ribuan kali dalam sehari, oleh Tugino, 42, Suwarno, 48, serta Purwoko, 39, warga Dusun Kajar I, Desa Karangtengah, Kecamatan Wonosari. Tugino membolak-balikkan lempeng besi untuk diceburkan ke dalam pembakaran.
Lempeng itu dibakar supaya lebih mudah ditempa dan dibentuk. Pembentukannya dengan cara dipukul berulang kali oleh para pande besi dengan menggunakan palu. Berulang kali, setiap hari, dari pukul 07.00 WIB sampai 17.00 WIB demi rupiah.
Setiap hari para pekerja itu dapat membuat 40 garpu penggaruk tanah. Garpu bercula tiga itu dibentuk dari sebatang lempeng besi. Tugino mengatakan dalam sehari mereka bisa menghabiskan 45 kilogram besi.
“Harga besi satu kilogram Rp7.500,” kata Tugino sambil bekerja.
Tugino mengatakan bahan baku besi itu dibeli dari Dusun Kajar I. Selain garpu, mereka juga membuat arit serta gatul (alat pertanian untuk menyerok tanah).
Tugino mengatakan alat-alat pertanian yang dibuatnya itu disetor ke Delanggu, Klaten, Jawa Tengah. Terkadang, mereka juga menyetornya ke Prambanan. Komoditas itu dijual setiap pasaran Legi.
Satu garpu itu dijual seharga Rp15.000, arit seharga Rp20.000 serta gatul seharga Rp10.000. Pembuatan alat pertanian ini telah berlangsung sejak turun-temurun, sampai angka tahun itu tidak diingat oleh Tugini.
“Tinggalane simbah-simbah biyen [peninggalan kakek nenek dahulu],” katanya.
Setiap hari, dua karung arang digunakan untuk membakar besi-besi itu. Suwarno mengatakan kerja seperti itu memang melelahkan, tapi apabila menganggur atau tak bekerja, lebih melelahkan.
“Kalau kerja terus malah lupa capeknya,” kata Suwarno sambil tersenyum.
Suwarno hanya menggunakan kain tipis untuk melindungi kaki, badan serta bagian tubuhnya yang lain. Percikan-percikan api dan besi panas dengan mudah menembus kain tipis itu.
Pekerjaan itu sangat berisiko untuk menimbulkan luka. Suwarno menunjukkan sejumlah luka di lengannya akibat terkena percikan api atau besi panas.  Mereka tidak menggunakan kacamata untuk melindungi alat penglihatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar